Koperasi
secara sistem telah diperkenalkan di Indonesia, atau Hindia Belanda pada masa
itu, sejak pertengahan abad ke-19. Pada perkembangannya, filosofi koperasi
kemudian diadopsi sebagai sistem perekonomian negara Indonesia setelah merdeka,
seperti bagaimana dijelaskan dalam dasar negara (UUD 45): Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Usaha bersama dan azas
kekeluargaan merupakan ciri khas koperasi yang diharapkan mampu membangun
Indonesia yang baru saja lahir agar mampu mandiri secara ekonomi. Gerakan
koperasi secara resmi dideklarasikan pada 14 Juli 1947.
Setelah hampir 67 tahun koperasi
eksis dan dipraktikan di Indonesia, bahkan dijadikan sebagai filosofi dasar
perekonomian negara, belum ada satupun koperasi Indonesia yang dapat masuk ke
jajaran koperasi elit kelas dunia atau bahkan dapat dikategorikan sebagai
koperasi sehat dengan skala ekonomis besar. Ironis memang, mengingat sistem
ekonomi koperasi didaulat sebagai suatu sistem ekonomi yang paling cocok dengan
sistem perekonomian nasional Indonesia.
Perlu disadari bahwa koperasi
sebagai usaha kelompok yang bukan berasal atau khas Indonesia, merupakan suatu
cara yang berawal diperkenalkan di Inggris pada masa Revolusi Industri di akhir
abad ke-18 yang diprakarsai oleh seorang industrialis-sosialis bernama Robert
Owen. Sejak awal kelahirannya, koperasi tumbuh sebagai gerakan untuk melawan
ketidakadilan pasar, mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan
pasar.
Koperasi merupakan cara
alternatif yang timbul sebagai perlawanan masyarakat kelas menengah ke bawah
terhadap penguasaan faktor-faktor ekonomi oleh para masyarakat kelas atas
pemodal kuat sebagai akibat dari terjadinya revolusi dalam cara mengelola
perekonomian di Inggris pada saat itu sehingga modal cenderung berkumpul pada
entitas-entitas usaha tertentu. Dalam perkembangannya, koperasi di Inggris dan
negara-negara maju mampu meraih posisi tawar dengan kedudukan penting dalam
konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional.
Lain halnya di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, koperasi dihadirkan dengan tujuan membangun
institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Koperasi diadopsi oleh negara, bahkan dalam
kasus tertentu diimplementasikan ke dalam pokok-pokok dasar negara seperti
halnya Indonesia mewujudkannya dalam Pasal 33 UUD 45. Sehingga campur tangan
pemerintah sangat kuat dalam perkoperasian di negara-negara berkembang, baik
itu dalam hal regulasi maupun kegiatan operasional sehari-hari.
Situasi ekonomi ekstrim yang
penuh dengan ketidakadilan pasar mendorong masyarakat negara-negara maju untuk
berkoperasi yang kemudian berdampak kepada kinerja koperasi mereka pada saat
sekarang ini. Mayoritas koperasi terbaik di dunia berasal dari negara-negara
maju yang notabene merupakan penganut sistem kapitalis. Bahkan banyak koperasi
dari negara-negara maju mampu mengurus diri dengan baik dan sehat lalu kemudian
menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan kapitalis. Bahkan akuisisi perusahaan besar oleh koperasi
bukan merupakan suatu yang lazim di negara-negara maju.
Koperasi di negara-negara maju
menguasai berbagai sektor perekonomian. Koperasi konsumsi merupakan pionir dari
penciptaan rantai perdagangan moderen di berbagai negara Eropa khususnya
negara-negara Skandinavia. Di negara-negara seperti Prancis, Austria, Finlandia
dan Siprus; koperasi menguasai sektor perbankan. Menurut data International Co-operative Alliance,
pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar sepertiga dari total bank
yang ada. Sebagai contoh, dua bank terbesar di Eropa, yaitu: Credit Agricole di Prancis dan RABO-Bank di Belanda dimiliki oleh koperasi.
Sementara itu, Amerika Serikat yang
bersinonim dengan kata kapitalis memiliki 25% dari jumlah penduduknya sebagai
anggota koperasi dengan lebih dari 30 koperasi memiliki penghasilan tahunan
lebih dari 1 miliar USD. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi
simpan pinjam (credit union), memiliki anggota mencapai sekitar 80 juta orang
dengan rata-rata jumlah simpanannya 3.000 dollar. Di Jepang, juga merupakan
negara yang dicap menerapkan sistem pasar bebas dengan ekstrim, 1 dari setiap 3
keluarga adalah anggota koperasi. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah
menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai bank
rakyat karena koperasi di Jepang beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan.
Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni Nurinchukin bank.
Sementara negara-negara
berkembang, tidak terkecuali Indonesia, tidak jarang menggunakan sistem
koperasi yang memang lekat dengan azas kebersamaan sebagai media propaganda.
Koperasi dijadikan sebagai alat untuk menggiring opini publik bahwa negara
menjalankan sistem koperasi anti terhadap sistem kapitalis yang akan merugikan
negara, serta tentunya rakyat. Hal tersebut tidak salah, namun dikotomi
koperasi dengan kapitalis seakan bagai minyak dan air sangatlah tidak tepat.
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di dunia sebagaimana yang dijabarkan
sebelumnya, perkembangan koperasi-koperasi di negara-negara maju tidak
bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Bahkan sebaliknya, koperasi di
negara-negara maju tidak hanya mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi
dari negara-negara kapitalis tersebut.
Yang membedakaan koperasi di
negara-negara maju dengan negara-negara berkembang yaitu kinerja dalam
pengelolaan koperasi. Koperasi di negara-negara maju dikelola secara
profesional sehingga mampu bersaing atau bahkan melebihi perusahaan-perusahaan
konvensional dikarenakan koperasi memiliki keunggulan lebih, yaitu kesetiaan
anggota dan azas kebersamaan. Koperasi di negara-negara berkembang cenderung
dipaksakan untuk hadir, karena merupakan dasar perekonomian negara, bukan
sebagai usaha murni dan niat sungguh-sungguh dari masyarakat. Efeknya, koperasi
dinegara-negara berkembang cenderung banyak yang tidak dikelola secara profesional
bahkan tidak jarang menjadi alat keuntungan sebagian kelompok saja. Pengelolaan
yang tidak profesional, tidak transparan, serta terlalu banyak campur tangan
pemerintah menjadikan banyak koperasi asal jadi; hidup segan mati tak mau. Ini
juga banyak kita jumpai di Indonesia.
Dalam suatu penelitian di
negara-negara Sub-Sahara Afrika, menyimpulkan bahwa buruknya kinerja
koperasi di Sub-Sahara Afrika, atau di banyak negara berkembang pada umumnya,
disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor
eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal.
Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota,
masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan
faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu
besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi
dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistik atas peran dari koperasi.
Menurut hasil penelitian, problem paling signifikan adalah cara bagaimana
koperasi dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari ’top-down’
telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan
koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan
diatur oleh pihak luar dan koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi
unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota.
Oleh karena itu, tidak ada
salahnya kita mencoba merenung dan berpikir, apakah benar koperasi merupakan
produk untuk menjegal sistem kapitalis dan tidak akan hidup di dalam sistem
tersebut? Mengingat tidak jarangnya koperasi disurakan sebagai sesuatu yang
anti kapitalisme, anti asing. Mengutip kicau @wilsonsitorus di twitter: Asing itu demarkasi imajiner, yang muncul sebab minder.