Topik kekinian paling hangat se-Indonesia Raya yaitu kenaikan harga BBM bersubsidi. Pihak manapun terpilih sebagai Presiden pada Pilpres lalu, bisa dipastikan akan mengambil kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi. Hal ini dikarenakan tanggungan subsidi BBM pada APBN yang sangat besar, lebih dari 250 trilyun rupiah. Dan lebih dari itu, penggunaan subsidi yang tidak tepat sasaran hingga dinikmati oleh mereka yang tidak semestinya menggunakan BBM bersubsidi.
Sekiranya sudah merupakan template bagi pihak manapun yang terpilih pada Pilpres untuk menaikan harga BBM bersubsidi sementara kubu yang gagal terpilih akan mengkritik kebijakan tersebut, semacam konstelasi normatif dalam politik Indonesia. Yang dirugikan dari hal ini adalah rakyat kebanyakan yang awam perihal perhitungan dan kebijakan yang akan dengan mudahnya tersesat dan terbawa arus oleh asumsi-asumsi sepihak yang berkepentingan sempit.
Terlepas dari pro-kontra tersebut saya mencoba untuk sedikit meilustrasikan kenaikan harga BBM bersubsidi di Indonesia terhadap pembandingnya yaitu pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini menggunakan GDP/Kapita sebagai indikator.
Dari grafik-grafik di atas dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap pertumbuhan GDP/Kapita justru cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang berarti kenaikan harga tersebut masih dalam ambang kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat Indonesia.
Tentu saja perhitungan di atas memiliki kekurangan seperti: hanya menggunakan faktor-faktor moneter, tidak memperhitungkan distribusi pendapatan yang menjadi masalah negara berkembang layaknya Indonesia, efek berantai kenaikan harga komoditas, inflasi dan sebagainya. Namun setidaknya dapat memberikan perspektif dan sedikit gambaran mengenai hubungan harga BBM bersubsidi dari tahun ke tahun terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia.
No comments:
Post a Comment