Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi
penduduk terbesar di dunia yang mendiami ribuan pulau terbentang dari Sabang
Hingga Merauke. Jumlah penduduk yang besar dan tersegmentasi oleh ribuan pulau
secara tidak langsung menjadikan Indonesia kaya akan suku bangsa dengan nilai
tradisi serta ciri khas masing-masing yang unik dan berbeda satu sama lain.
Tradisi adalah hasil dari pandangan atau pola pikir dalam
kehidupan yang diciptakan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan oleh
komunitas sosial masyarakat tertentu yang kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Tradisi yang diturunkan antar generasi
dijaga dan dirawat serta dicerminkan dalam pola kehidupan sehari-hari, sehingga
tradisi merupakan identitas dari suatu suku bangsa.
Salah satu tradisi khas beberapa suku bangsa di Indonesia
adalah kebiasaan merantau. Suku Bugis, Batak, Banjar, Bawean, Madura dan Minang
dikenal dengan kebiasaan merantau hingga mereka berdiaspora hampir ke seluruh
wilayah Republik Indonesia bahkan hingga ke mancanegara dengan latar belakang
dan pola diaspora masing-masing.
Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, suku Minang berbeda
dari lainnya dalam hal sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan pada suku Minang
menggunakan konsep matrilineal, garis keturunan berdasarkan pihak ibu.
Kontradiktif dengan suku bangsa di Indonesia lainnya yang menggunakan sistem
patrilineal, garis keturunan berdasarkan pihak ayah. Tidak hanya di Indonesia, patrilineal
lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang
lebih jarang penggunaannya. Kekerabatan patrilineal merupakan sistem yang
relatif lebih baru dibanding sistem matrilineal. Dan sistem kekerabatan
matrilineal memiliki pengaruh khusus dalam tradisi merantau suku Minang yang
juga secara tidak langsung sedikit membedakannya dengan faktor tradisi merantau
dari suku lain.
Suku Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal, adat
masyarakat yang berarti mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Seorang
keturunan Minang menerima suku dari pihak ibu dan harta pusaka tinggi hanya
diwariskan kepada pihak perempuan. Laki-laki tidak menerima pewarisan harta dan
tidak memiliki hak penguasaan, hanya diberi hak untuk mengolah dan memanfaatkan
harta pusaka dengan izin dari pihak perempuan yang biasa disebut Bundo
Kanduang. Kontradiktif dengan suku bangsa lain di mana kaum laki-laki menjadi
penguasa atas penurunan harta pusaka dan gelar suku atau marga kepada generasi
berikut.
Dalam tradisi Minang, anak laki-laki yang sudah akhil baligh
atau menginjak masa remaja sudah tidak tidur di rumah karena tidak mempunyai
hak kepemilikan atas kamar tidur. Kamar tidur di rumah diperuntukkan bagi anak
perempuan sehingga biasanya remaja laki-laki tidur di mesjid atau musala.
Mereka pulang ke rumah hanya untuk membantu pekerjaan rumah, makan dan berganti
pakaian.
Ketidakberhakkan atas pemilikan harta pusaka menjadi salah
satu faktor utama pemuda Minang untuk merantau. Berusaha menuntut ilmu, bekerja
atau berdagang di perantauan untuk memperoleh pencapaian sendiri.
Masyarakat Minangkabau kaya akan budaya lisan di mana
nasihat dan petuah disampaikan melalui syair, gurindam atau pepatah-petitih.
Terdapat pepatah populer berhubungan dengan kebiasaan merantau yang sangat
lekat di kepala pemuda Minang: “Karatau madang di hulu babuah babungo balun,
marantau bujang dahulu di rumah paguno balun”. Pepatah tersebut dapat
dibunyikan sebagai berikut dalam bahasa Indonesia: "Keratau madang di hulu
berbuah berbunga belum, merantau bujang dahulu di rumah berguna belum". Yang
berarti seorang pemuda Minang disarankan untuk merantau meninggalkan kampung
halaman untuk menuntut ilmu, bekerja atau berdagang karena di kampung belum mempunyai atau bermanfaat apa-apa.
Tradisi merantau untuk berusaha dari nol di daerah
perantauan yang dipicu ketidakpunyaan hak atas kepemilikan harta pusaka ini
berdampak pada diaspora suku Minang. Hampir di semua daerah di Indonesia dapat
ditemui orang Minang atau yang lebih populer dengan sebutan ‘orang Padang’,
dari Aceh hingga ke Papua bahkan semenanjung Malaya.
Pada abad ke-14 hingga abad ke-18, sebelum negara Republik
Indonesia dibentuk dan wilayah Indonesia sekarang masih terbagi kepada
kerajaan-kerajaan lokal, diaspora suku Minang cenderung dilakukan ke
Semenanjung Malaya. Pada abad ke-14 kaum perantauan dari Minang mendirikan
Kesultanan Sulu di Filipina dan Negeri Sembilan di Malaysia sekarang. Bahkan
secara internal orang Minang, wilayah Minangkabau diartikan meliputi cakupan
Provinsi Sumatra Barat sekarang ditambah Provinsi Jambi bagian utara (Kerinci),
Riau bagian barat (Siak dan Teluk Kuantan), serta Negeri Sembilan di Malaysia.
Diaspora suku Minang juga membentuk suku tersendiri di daerah Aceh yang dikenal
dengan suku Aneuk Jamee. Di Negeri Sembilan bahasa masyarakat sehari-hari
digunakan bahasa Minang persis seperti di Sumatra Barat, berikut juga makanan
khas beserta upacara adatnya.
Suku Minang menganut sistem kekerabatan yang unik dan
berbeda dengan dengan suku bangsa lain di Indonesia, yaitu sistem kekerabatan
Matrilineal yang telah menjadi kearifan lokal sejak dahulu. Sistem kekerabatan
menurut garis keturunan ibu secara tidak langsung menjadikan laki-laki di
Minangkabau tidak memiliki hak kepemilikan atas harta pusaka yang kemudian
mendorong mereka untuk merantau mengadu nasib dari awal dengan menuntut ilmu,
bekerja atau berdagang.
Tradisi merantau yang masif tersebut berdampak pada diaspora
suku Minang yang bisa ditemui hampir di semua wilayah Indonesia bahkan lintas
negara hingga ke Filipina dan Malaysia. Tradisi merantau sebagai salah satu tradisi hasil dari
kearifan masyarakat Minang yang diturunkan lintas generasi telah menjadi ciri
khas serta membentuk identitas sendiri bagi suku Minang yang dikenal sebagai
suku yang gemar merantau.
No comments:
Post a Comment