19 October 2014

Koperasi di Negara Maju dan Negara Berkembang

Koperasi secara sistem telah diperkenalkan di Indonesia, atau Hindia Belanda pada masa itu, sejak pertengahan abad ke-19. Pada perkembangannya, filosofi koperasi kemudian diadopsi sebagai sistem perekonomian negara Indonesia setelah merdeka, seperti bagaimana dijelaskan dalam dasar negara (UUD 45): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Usaha bersama dan azas kekeluargaan merupakan ciri khas koperasi yang diharapkan mampu membangun Indonesia yang baru saja lahir agar mampu mandiri secara ekonomi. Gerakan koperasi secara resmi dideklarasikan pada 14 Juli 1947.

Setelah hampir 67 tahun koperasi eksis dan dipraktikan di Indonesia, bahkan dijadikan sebagai filosofi dasar perekonomian negara, belum ada satupun koperasi Indonesia yang dapat masuk ke jajaran koperasi elit kelas dunia atau bahkan dapat dikategorikan sebagai koperasi sehat dengan skala ekonomis besar. Ironis memang, mengingat sistem ekonomi koperasi didaulat sebagai suatu sistem ekonomi yang paling cocok dengan sistem perekonomian nasional Indonesia.

Perlu disadari bahwa koperasi sebagai usaha kelompok yang bukan berasal atau khas Indonesia, merupakan suatu cara yang berawal diperkenalkan di Inggris pada masa Revolusi Industri di akhir abad ke-18 yang diprakarsai oleh seorang industrialis-sosialis bernama Robert Owen. Sejak awal kelahirannya, koperasi tumbuh sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar.

Koperasi merupakan cara alternatif yang timbul sebagai perlawanan masyarakat kelas menengah ke bawah terhadap penguasaan faktor-faktor ekonomi oleh para masyarakat kelas atas pemodal kuat sebagai akibat dari terjadinya revolusi dalam cara mengelola perekonomian di Inggris pada saat itu sehingga modal cenderung berkumpul pada entitas-entitas usaha tertentu. Dalam perkembangannya, koperasi di Inggris dan negara-negara maju mampu meraih posisi tawar dengan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional.

Lain halnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, koperasi dihadirkan dengan tujuan membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Koperasi diadopsi oleh negara, bahkan dalam kasus tertentu diimplementasikan ke dalam pokok-pokok dasar negara seperti halnya Indonesia mewujudkannya dalam Pasal 33 UUD 45. Sehingga campur tangan pemerintah sangat kuat dalam perkoperasian di negara-negara berkembang, baik itu dalam hal regulasi maupun kegiatan operasional sehari-hari.

Situasi ekonomi ekstrim yang penuh dengan ketidakadilan pasar mendorong masyarakat negara-negara maju untuk berkoperasi yang kemudian berdampak kepada kinerja koperasi mereka pada saat sekarang ini. Mayoritas koperasi terbaik di dunia berasal dari negara-negara maju yang notabene merupakan penganut sistem kapitalis. Bahkan banyak koperasi dari negara-negara maju mampu mengurus diri dengan baik dan sehat lalu kemudian menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan kapitalis. Bahkan akuisisi perusahaan besar oleh koperasi bukan merupakan suatu yang lazim di negara-negara maju.

Koperasi di negara-negara maju menguasai berbagai sektor perekonomian. Koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan moderen di berbagai negara Eropa khususnya negara-negara Skandinavia. Di negara-negara seperti Prancis, Austria, Finlandia dan Siprus; koperasi menguasai sektor perbankan. Menurut data International Co-operative Alliance, pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar sepertiga dari total bank yang ada. Sebagai contoh, dua bank terbesar di Eropa, yaitu: Credit Agricole di Prancis dan RABO-Bank di Belanda dimiliki oleh koperasi.

Sementara itu, Amerika Serikat yang bersinonim dengan kata kapitalis memiliki 25% dari jumlah penduduknya sebagai anggota koperasi dengan lebih dari 30 koperasi memiliki penghasilan tahunan lebih dari 1 miliar USD. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi simpan pinjam (credit union), memiliki anggota mencapai sekitar 80 juta orang dengan rata-rata jumlah simpanannya 3.000 dollar. Di Jepang, juga merupakan negara yang dicap menerapkan sistem pasar bebas dengan ekstrim, 1 dari setiap 3 keluarga adalah anggota koperasi. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai bank rakyat karena koperasi di Jepang beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni Nurinchukin bank.

Sementara negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia, tidak jarang menggunakan sistem koperasi yang memang lekat dengan azas kebersamaan sebagai media propaganda. Koperasi dijadikan sebagai alat untuk menggiring opini publik bahwa negara menjalankan sistem koperasi anti terhadap sistem kapitalis yang akan merugikan negara, serta tentunya rakyat. Hal tersebut tidak salah, namun dikotomi koperasi dengan kapitalis seakan bagai minyak dan air sangatlah tidak tepat. Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di dunia sebagaimana yang dijabarkan sebelumnya, perkembangan koperasi-koperasi di negara-negara maju tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Bahkan sebaliknya, koperasi di negara-negara maju  tidak hanya mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut.

Yang membedakaan koperasi di negara-negara maju dengan negara-negara berkembang yaitu kinerja dalam pengelolaan koperasi. Koperasi di negara-negara maju dikelola secara profesional sehingga mampu bersaing atau bahkan melebihi perusahaan-perusahaan konvensional dikarenakan koperasi memiliki keunggulan lebih, yaitu kesetiaan anggota dan azas kebersamaan. Koperasi di negara-negara berkembang cenderung dipaksakan untuk hadir, karena merupakan dasar perekonomian negara, bukan sebagai usaha murni dan niat sungguh-sungguh dari masyarakat. Efeknya, koperasi dinegara-negara berkembang cenderung banyak yang tidak dikelola secara profesional bahkan tidak jarang menjadi alat keuntungan sebagian kelompok saja. Pengelolaan yang tidak profesional, tidak transparan, serta terlalu banyak campur tangan pemerintah menjadikan banyak koperasi asal jadi; hidup segan mati tak mau. Ini juga banyak kita jumpai di Indonesia.

Dalam suatu penelitian di negara-negara Sub-Sahara Afrika, menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Sub-Sahara Afrika, atau di banyak negara berkembang pada umumnya, disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal.  Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistik atas peran dari koperasi. Menurut hasil penelitian, problem paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari ’top-down’ telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar dan koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita mencoba merenung dan berpikir, apakah benar koperasi merupakan produk untuk menjegal sistem kapitalis dan tidak akan hidup di dalam sistem tersebut? Mengingat tidak jarangnya koperasi disurakan sebagai sesuatu yang anti kapitalisme, anti asing. Mengutip kicau @wilsonsitorus di twitter: Asing itu demarkasi imajiner, yang muncul sebab minder.


No comments:

Post a Comment