30 March 2015

Hak Asasi Manusia dan Pemaknaannya

Manusia sebagai makhluk berakal dan dominan di muka bumi mampu membangun peradaban yang secara gradual berkembang menuju suatu bentuk yang selalu lebih baik dari pada sebelumnya. Akal dan pikiran yang dimiliki manusia tersebut mampu membangun suatu peradaban maju dan bermartabat namun bagai pisau bermata dua, tidak sedikit peradaban yang hancur karena perbuatan manusia sendiri.

Jamak dalam sejarah kita temui bagaimana manusia bersama kelompoknya; entah itu kelompok atas dasar pertalian darah, etnis, kepercayaan, senasib maupun atas dasar persamaan geografi melakukan penindasan terhadap kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Sejarah selalu berulang demikian selama puluhan ribu tahun, kekerasan antar manusia dalam bentuk penindasan baik itu secara hak maupun fisik selalu hadir dalam lembar catatan peradaban manusia.

Semakin maju peradaban, manusia selalu berusaha mencari cara lebih baik untuk hidup. Semakin menyadari nilai-nilai pokok yang membuat kita menjadi manusia yang berbeda dari hewan. Hewan hanya mengikuti insting sementara manusia merupakan makhluk yang jauh lebih superior dan kompleks. "Lingkar otak" manusia memungkinkan mereka untuk memendam ataupun menahan insting hewani, berkompromi agar tidak menelan akal sehat.

Manusia menjadi sadar bahwa setiap manusia seharusnya setara, membawa hak-hak pasti yang mereka bawa dari dalam kandungan ibu dan berlaku universal. Hak ini kemudian diartikan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Suatu hak yang merupakan kepemilikan pribadi seseorang yang sejati dan tidak sepantasnya direnggut oleh manusia lain dengan alasan apapun.

Para ahli berpendapat bahwa HAM dimulai dengan lahirnya Magna Carta pada tahun 1215. Piagam ini menyatakan bahwa seorang raja sebagai penguasa tertinggi yang sejatinya memiliki kekuasaan absolut, menciptakan hukum bagi bangsa dan negara namun secara individual tidak terikat kepada aturan hukum tersebut, mulai dibatasi kekuasaannya dan dapat diminta pertanggungjawaban di depan hukum.

Ini berarti, para penguasa yang terutama pada zaman tersebut hidup bagaikan dewa bila dibandingkan dengan rakyat jelata, tidak akan mampu lagi bertindak sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Pada masa itu, manusia lain dengan kedudukan kurang lebih tinggi dari rakyat biasa dianggap sebagai properti yang dimiliki oleh para penguasa. Tidak ada bedanya dengan benda biasa seperti bangku dapur biasa yang terbuat dari kayu.

Hadirnya piagam Magna Carta menghadirkan babak baru bagi peradaban manusia, menelurkan doktrin bahwa raja tidak kebal hukum dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Seorang raja yang melanggar hukum harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Hal tersebut merupakan suatu pernyataan bahwa raja terikat dengan hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat.

Di sini mulai lahir embrio monarki konstitusional yang mendefinisikan kekuatan raja tidak lebih dari simbolik. Walau raja didaulat sebagai penguasa suatu negara namun pada prakteknya demokrasi atau suara rakyat merupakan roda utama penggerak kehidupan bernegara.

Perkembangan berikutnya hadir melalui Bill of Rights di Inggris tahun 1689. Kemudian sejalan dengan peristiwa tersebut muncul pula adagium bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya supremasi negara hukum dan demokrasi. Kehadiran Bill of Rights telah menghasilkan asas persamaan harus diwujudkan apapun resikonya yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan bila sudah tercipta hak persamaan.

Untuk mewujudkan asas persamaan di atas, lahirlah teori kontrak sosial oleh Jean Jaques Rosseau. Kemudian disusul oleh Montesquieu dengan doktrinnya yang terkenal Trias Politika yang mengajarkan pemisahan kekuasaan untuk mencegah tirani.

Setelah itu Jhon Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat dengan gagasannya tentang hak-hak dasar kebebasan dan persamaan. Seiring berkembangan waktu, konsep HAM menjadi semakin bulat dan nyata terutama pada abad ke-19 dan ke-20 di mana pemikiran manusia semakin maju sehingga semakin mengkaji ide-ide kemanusiaan terutama disponsori kaum cendikia dan mereka yang terdidik.

Namun begitu, pada mula dan pertengahan abad ke-20 peradaban mengalami kemunduran tajam. Perang dunia berkecamuk, tidak hanya sekali. Konflik menjadi global dan masif, jutaan korban jiwa dan tidak sedikit kerugian materi dan finansial tidak dapat dihindari. Peradabaan manusia moderen yang sudah mulai maju hingga titik tertentu terkoyak dan hancur menuju titik nadir.

Kedahsyatan kehancuran akibat Perang Dunia I dan II memberikan pelajaran mendalam bahwa pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan sesuatu yang mesti, guna menyelamatkan peradaban manusia dari kemusnahan.

Indonesia sebagai negara yang secara tidak langsung lahir sebagai hasil dari Perang dunia II tentunya ikut menyadari hal tersebut. Bahkan para bapak bangsa merumuskan dengan pasti pada pokok-pokok dasar negara melalui pernyataan "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa", mengindikasikan bahwa pengakuan terhadap manusia sebagai makhluk yang bebas dan merdeka merupakan suatu keharusan.

Kemudian lebih lanjut, perlindungan terhadap HAM dituangkan melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam UUD 45 sebelum perubahan (amandemen), diatur dan dimuat jenis-jenis HAM bangsa Indonesia yang dilindungi diantaranya: hak pribadi, hak keadilan hukum, hak politik, hak sosial dan peradaban.

Hak pribadi (personal right) yaitu hak hidup, memepertahankan hidup, kebebasan memilih agama, menyatakan pendapat, bergerak, dan lain sebagainya, diataur dalam Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Pasal 28 yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang". Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Legal equality right, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di bidang hukum dan pemerintahan. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Political right, hak untuk ikut serta dalam politik, hak pilih dan memilih dalam pemilu. Pasal 28 yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".

Social and cultural right, hak untuk memilih pendidikan dan mengembangkan kebudayaan. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran".

Semua hak-hak dasar di atas kemudian ditambahkankan dan disempurnakan lebih lanjut dalam perubahan dan amandemen UUD 45 sesuai dengan konteks kekinian, perkembangan jaman dan tentunya kebutuhan kehidupan berbangsa Indonesia yang dinamis. Indonesia sebagai bangsa yang mertabat menjunjung tinggi pelaksanaan HAM.

Hak Asasi Manusia sebagai hak hakiki yang dimiliki dan dibawa manusia sejak sebelum lahir merupakan properti paling personal dimiliki manusia yang sejatinya tidak pantas untuk dirampas oleh siapapun dengan alasan apapun. Peradabaan manusia yang semakin maju mengisyaratkan kesadaran akan pentingnya menumbuhkan kemudian merawat hilai-nilai HAM demi kehidupan manusia itu sendiri.

Namun tidak jarang pada praktiknya, pelaksanaan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dicederai oleh suatu atau sebagian kelompok maupun individu dikarenakan alasan yang bahkan kadang sulit diterima sebagai akal sehat sebagai seorang manusia. Sebagaimana pepatah latin meanalogikan, Homo Homini Lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.

No comments:

Post a Comment