09 December 2013

SISTEM KEKERABATAN MATRILINEAL DAN DIASPORA SUKU MINANG

Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia yang mendiami ribuan pulau terbentang dari Sabang Hingga Merauke. Jumlah penduduk yang besar dan tersegmentasi oleh ribuan pulau secara tidak langsung menjadikan Indonesia kaya akan suku bangsa dengan nilai tradisi serta ciri khas masing-masing yang unik dan berbeda satu sama lain.

Tradisi adalah hasil dari pandangan atau pola pikir dalam kehidupan yang diciptakan dengan bijaksana dan penuh pertimbangan oleh komunitas sosial masyarakat tertentu yang kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Tradisi yang diturunkan antar generasi dijaga dan dirawat serta dicerminkan dalam pola kehidupan sehari-hari, sehingga tradisi merupakan identitas dari suatu suku bangsa.

Salah satu tradisi khas beberapa suku bangsa di Indonesia adalah kebiasaan merantau. Suku Bugis, Batak, Banjar, Bawean, Madura dan Minang dikenal dengan kebiasaan merantau hingga mereka berdiaspora hampir ke seluruh wilayah Republik Indonesia bahkan hingga ke mancanegara dengan latar belakang dan pola diaspora masing-masing.

Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, suku Minang berbeda dari lainnya dalam hal sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan pada suku Minang menggunakan konsep matrilineal, garis keturunan berdasarkan pihak ibu. Kontradiktif dengan suku bangsa di Indonesia lainnya yang menggunakan sistem patrilineal, garis keturunan berdasarkan pihak ayah. Tidak hanya di Indonesia, patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya. Kekerabatan patrilineal merupakan sistem yang relatif lebih baru dibanding sistem matrilineal. Dan sistem kekerabatan matrilineal memiliki pengaruh khusus dalam tradisi merantau suku Minang yang juga secara tidak langsung sedikit membedakannya dengan faktor tradisi merantau dari suku lain.

Suku Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal, adat masyarakat yang berarti mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Seorang keturunan Minang menerima suku dari pihak ibu dan harta pusaka tinggi hanya diwariskan kepada pihak perempuan. Laki-laki tidak menerima pewarisan harta dan tidak memiliki hak penguasaan, hanya diberi hak untuk mengolah dan memanfaatkan harta pusaka dengan izin dari pihak perempuan yang biasa disebut Bundo Kanduang. Kontradiktif dengan suku bangsa lain di mana kaum laki-laki menjadi penguasa atas penurunan harta pusaka dan gelar suku atau marga kepada generasi berikut.

Dalam tradisi Minang, anak laki-laki yang sudah akhil baligh atau menginjak masa remaja sudah tidak tidur di rumah karena tidak mempunyai hak kepemilikan atas kamar tidur. Kamar tidur di rumah diperuntukkan bagi anak perempuan sehingga biasanya remaja laki-laki tidur di mesjid atau musala. Mereka pulang ke rumah hanya untuk membantu pekerjaan rumah, makan dan berganti pakaian.

Ketidakberhakkan atas pemilikan harta pusaka menjadi salah satu faktor utama pemuda Minang untuk merantau. Berusaha menuntut ilmu, bekerja atau berdagang di perantauan untuk memperoleh pencapaian sendiri.

Masyarakat Minangkabau kaya akan budaya lisan di mana nasihat dan petuah disampaikan melalui syair, gurindam atau pepatah-petitih. Terdapat pepatah populer berhubungan dengan kebiasaan merantau yang sangat lekat di kepala pemuda Minang: “Karatau madang di hulu babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di rumah paguno balun”. Pepatah tersebut dapat dibunyikan sebagai berikut dalam bahasa Indonesia: "Keratau madang di hulu berbuah berbunga belum, merantau bujang dahulu di rumah berguna belum". Yang berarti seorang pemuda Minang disarankan untuk merantau meninggalkan kampung halaman untuk menuntut ilmu, bekerja atau berdagang karena di kampung belum mempunyai atau bermanfaat apa-apa.

Tradisi merantau untuk berusaha dari nol di daerah perantauan yang dipicu ketidakpunyaan hak atas kepemilikan harta pusaka ini berdampak pada diaspora suku Minang. Hampir di semua daerah di Indonesia dapat ditemui orang Minang atau yang lebih populer dengan sebutan ‘orang Padang’, dari Aceh hingga ke Papua bahkan semenanjung Malaya.

Pada abad ke-14 hingga abad ke-18, sebelum negara Republik Indonesia dibentuk dan wilayah Indonesia sekarang masih terbagi kepada kerajaan-kerajaan lokal, diaspora suku Minang cenderung dilakukan ke Semenanjung Malaya. Pada abad ke-14 kaum perantauan dari Minang mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina dan Negeri Sembilan di Malaysia sekarang. Bahkan secara internal orang Minang, wilayah Minangkabau diartikan meliputi cakupan Provinsi Sumatra Barat sekarang ditambah Provinsi Jambi bagian utara (Kerinci), Riau bagian barat (Siak dan Teluk Kuantan), serta Negeri Sembilan di Malaysia. Diaspora suku Minang juga membentuk suku tersendiri di daerah Aceh yang dikenal dengan suku Aneuk Jamee. Di Negeri Sembilan bahasa masyarakat sehari-hari digunakan bahasa Minang persis seperti di Sumatra Barat, berikut juga makanan khas beserta upacara adatnya.

Suku Minang menganut sistem kekerabatan yang unik dan berbeda dengan dengan suku bangsa lain di Indonesia, yaitu sistem kekerabatan Matrilineal yang telah menjadi kearifan lokal sejak dahulu. Sistem kekerabatan menurut garis keturunan ibu secara tidak langsung menjadikan laki-laki di Minangkabau tidak memiliki hak kepemilikan atas harta pusaka yang kemudian mendorong mereka untuk merantau mengadu nasib dari awal dengan menuntut ilmu, bekerja atau berdagang.

Tradisi merantau yang masif tersebut berdampak pada diaspora suku Minang yang bisa ditemui hampir di semua wilayah Indonesia bahkan lintas negara hingga ke Filipina dan Malaysia. Tradisi merantau sebagai salah satu tradisi hasil dari kearifan masyarakat Minang yang diturunkan lintas generasi telah menjadi ciri khas serta membentuk identitas sendiri bagi suku Minang yang dikenal sebagai suku yang gemar merantau.

No comments:

Post a Comment